Lambat laun umurku akan selalu bertambah,
sedikit demi sedikit semakin mengerti arti hidup. Hidup ini dipenuhi cinta dan
kasih. Tidak mungkin tidak. Tanpa setitik cinta, orang tak akan bisa hidup di dunia ini. Entah itu cinta tanah air, cinta keluarga, cinta
pekerjaan, semuanya… dan terkadang cinta oleh seseorang yang diturunkan Tuhan
untuk kita cinta. Sama halnya aku, mungkin di suatu tempat aku tidak meraskan
kebahagiaan karena sebuah kata cinta. Mungkin itu bukan tempatku. Tapi disuatu
tempat lain, aku memliki berjuta cinta di dalamnya.
Ada seseorang yang aku sayang detik ini.
Orang yang aku kasihi. Yang entah mengapa membuka berjuta lembaran baru. Aku
bisa melupakan begitu banyak orang yang kusayangi tapi menyakitiku. Aku bisa
melihat dunia yang begitu indah tanpa mereka, Bahkan aku mampu melihat dunia
yang begitu indah karena keadilan Allah Tuhanku hanya dengan senyum dan
kegembiraanmu.
Aku diam. Aku tak pernah mengutarakan
perasaanku meski sudah banyak orang mencurigainya. Aku selalu bilang TIDAK. Iya,
memang aku munafik. Tapi apa arti semua ini bagi sosok remaja yang terkadang
labil seperti aku. Aku belum cukup dewasa untuk mengartikan semuanya. Mungkin
jujur memang baik. Tapi aku lebih suka memendamnya dihati tanpa dia tahu. Cukup
dengan melihatnya tersenyum saja aku ikut tersenyum.
Orang bertanya mengapa aku tidak seperti
yang lainnya. Tidak mengungkapkan apa yang dirasakan. Selalu memendam sendiri
tanpa dia tau. AKu hanya takut dia menjauh dan akan terasa canggung bila
bertemu. Aku tak mau dia menjauh. Aku ingin dia selalu ada dihadapanku, ada
berkumpul bersama teman-teman yang lainnya. Ada… selalu ada…
Namun kurasa, dunia telah memberinya tau.
Tanpa aku memberi tau sedikitpun. Apakah ada yang salah dengan tingkah lakuku
terhadapnya? Aku tau, dia memberiku satu isyarat untuk menolakku secara halus.
Dan aku mengerti. Dia berusaha membuatku mengatakannya. Mengatakan tentang apa
yang ada dalam benakku. Tapi aku teguh dengan pendirianku. Aku tak bisa
mengatakannya. Dan pada akhirnya kamu berikan aku isyarat itu. Aku terima.
Tapi kenapa kalimatnya bermakna “ada
perasaan, maka ingin memiliki” TIDAK! Bahkan aku tidak pernah berani memintamu
untuk lebih,meski dalam doaku. Aku tidak pernah berani meminta kamu untuk
menjadi kekasihku. Kau salah menilaiku. Sejak awal aku sudah merasa bahwa
memang kamu sengaja melakukan semua itu agar aku mengatakannya. Aku memang
munafik. Aku memang seperti ini. Berjuta kasih telah tertumpuk rapi di dalam
hati. Dan tiba-tiba kau mengatakannya. Berulang kali kamu mengatakan hal yang
senada, tapi memang aku bukan mereka yang bisa mengatakan segala perasaan yang
ada.
Aku mungkin merasa, bahwa memang kamu
ingin aku mengatakan suatu hal itu. Dan kamu menuturkan penolakan itu. Sebelum
aku mengatakannya. Maka beruntunglah aku tidak memberi tahumu meski akhirnya
kamu tau dengan sendirinya. Aku sadar siapa aku. Aku sadar siapa kamu. Posisi
ku. Posisimu. Posisi mereka.
Aku hanya seperti kertas putih yang
dibakar dan menjadi hangus lalu berubah menjadi abu tak berbentuk. Lalu terbang
tertiup angin tanpa arah. Entah aku akan melakukan apa. Entah aku harus
berpikir apa. Entah apakah aku bisa melupakan kejadian ini semua, dan
kenangan-kenangan itu. Selama beberapa jam aku bersamamu. Bersama mereka. Hal
yang indah bukan?
Aku tidak mengerti bagaimana cara untukku
menghindari semuanya. Tak mengerti bagaimana caranya untuk mencoba menerima apa
yang ada. Tidak mengerti cara untuk bisa berhenti menyayangimu.
Aku bodoh atau apa? Aku tau begitu banyak
orang menyurigai tentang sebuah perasaan yang bersarang di dalam hati seorang
remaja ini, yang tidak lain tidak bukan adalah aku sendiri. Dan tetap pada
pendirianku bahwa aku tidak akan berkata “ya” sebelum kamu memberikan setitik
harap. Dan mungkin itu tidak akan pernah aku katakan. Ketika orang-orang
membicarakanku denganmu. Menggoda. Atau entahlah... aku hanya menganggap mereka
mendoakan. Dan aku akan mengatakan “aamiin” tentu hanya didalam hatiku saja.
Agar tak seorangpun tau aku memang memiliki perasaan itu. Doa demi doa...
entahlah, apakah doa itu akan dikabulkan oleh Allah Tuhanku, atau karena memang
ada yang lebih baik lagi. Tapi sungguh aku ingin jawaban “lain kali/lain waktu”
bukan ada yang lebih baik.
Tapi aku mencoba tetap dalam pendirianku,
tetap diam, tetap tersenyum. Kembali kepada TOPENG yang sama. Dan berharap
Topeng itu akan kulepas, dan tak akan ku pakai lagi, aku ingin bahagia tanpa
topeng ini. Aku ingin bahagia dari lubuk hatiku. Bersama kamu... bersama mereka